Percepatan arus informasi dalam era globalisasi dewasa ini sangat menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strateginya agar sesuai dengan kebutuhan, dan tidak ketinggalan zaman dari bangsa lain. Penyesuaian tersebut secara langsung mengubah tatanan dalam sistem makro, meso, maupun mikro, demikian halnya dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional (global).
Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara; khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Oleh karena itu, sejak Indonesia memiliki kebebasan bangsanya, sejak saat itu pula pemerintah menyusun kurikulum. Dalam hal ini, kurikulum dibuat oleh pemerintah pusat secara sentralistik, dan diberlakukan bagi seluruh anak bangsa di seluruh wilayah tanah air.
Arti dan Landasan KTSP
KTSP adalah kepanjangan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Tentu saja sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan di SD, SMP, SMA, dan SMK, serta departemen yang menangani jurusan pemerintahan di bidang agama khususnya untuk MI, MTs, MA, atau MAK. Jadi KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya.
Pada dasarnya, KTSP dilandasi oleh beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur masalah pendidikan, seperti:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
3. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi;
4. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan
5. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan permendiknas no. 22 dan 23.
Mengapa Harus KTSP?
Munculnya paradigma baru bagi pengembangan kurikulum di tanah air seakan memberikan angin segar tersendiri bagi mutu pendidikan. Bagaimana tidak, sekolah-sekolah yang baru saja menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan segala keterbatasan dan kendala-kendala di lapangan, kini harus berhadapan lagi dengan model kurikulum baru sebagai bentuk penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Lantas, kenapa KTSP dimunculkan?
Secara umum, tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memberdayakan satuan pendidikan dengan memberikan wewenang penuh (otonomi) untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipasif dalam pengembangan kurikulum.
Sedangkan secara khusus, tujuannya adalah (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdaya sumberdaya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama; dan (3) meningkatkan kompetisi antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
Sehubungan dengan konteks otonomi seperti tersebut di atas, maka KTSP memang untuk sementara ini dianggap lebih unggul karena disebabkan oleh hal-hal berikut ini (baca KTSP, karangan E. Mulyasa, 2006: 22-23).
1. Sekolah biasanya lebih tahu kelebihan, kelemahan, dan peluang bagi dirinya dalam
mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia.
2. Sekolah lebih tahu kebutuhan lembaganya, terutama kebutuhan input pendidikan yang akan dikembangkannya sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
3. Sekolah lebih tahu apa yang terbaik buatnya sehingga memang diperlukan proses pengambilan keputusan secara bersama.
4. Sekolah akan lebih mudah menciptakan transparansi dan demokrasi dalam mengembangkan
kurikulum karena bisa dikontrol langsung oleh masyarakat.
5. Sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu pendidikan secara langsung kepada orang tua
murid dalam mencapai hasil akhir dari proses pembelajaran.
6. Sekolah senantiasa mengembangkan persaingan yang sehat dengan sekolah lain.
7. Sekolah akan lebih mudah menampung segala respon, aspirasi, perubahan dari masyarakat
secara cepat dengan mengakomodasikannya dalam kurikulum tersebut.
Kontroversi Seputar ‘KTSP’
Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan meluncurkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. Kurikulum 2006 memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Dengan dalih mereformasi kurikulum nasional, kurikulum operasional (KTSP) ini memang disusun oleh dan dilaksanakan di satuan pendidikan (sekolah) masing-masing, namun pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Artinya secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya. Dengan demikian muncullah nuansa anti pemberdayaan karena kebijakan tetap berada pada para pejabat Depdiknas dari pusat ke daerah dan bukan pada sekolah-sekolah. Menurut kebanyakan guru reformasi setengah hati ini malah membingungkan pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai.
Menurut Beane (1986), seperti yang dikutip dari ulasan Paulus Mujiran dalam Media Indonesia 4 Oktober 2006, yang dimaksud cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah, kurikulum hanya berupa sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, sedangkan cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah, kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik. Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya. Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi di lingkup pendidikan nasional. Yang ironis hanya guru-guru di sekolah unggul saja yang mendapat penjelasan soal kurikulum 2006. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput. Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Curtis R Finch dan John R Crunkilton ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute and State University Amerika Serikat (AS) menekankan pentingnya sosialisasi atau desiminasi sebelum kurikulum baru dijalankan. Dengan kata lain, sebelum kurikulum baru dijalankan, harus dilakukan desiminasi yang efektif. Untuk mendesiminasi kurikulum (baru) terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan; masing-masing menyangkut kesiapan pemakai dan pelaksananya (audience), kondisi geografis (geographical consideration), serta biaya penyebaran informasi (cost).
Bila sistem desiminasi kurikulum tidak efektif, maka sebagus apa pun materi kurikulum akan 'mentah' karena informasi yang diterima masyarakat khususnya pemakai dan pelaksana tak lengkap. Akhirnya, pelaksanaan kurikulum banyak menemui kendala. Dari sisi pemakai dan pelaksana, sampai sekarang kebanyakan guru, kepala sekolah, dan bahkan petugas Dinas Pendidikan belum tahu substansi kurikulum 2006. Belum lagi menyangkut masalah filosofi sampai dengan metodologi implementasinya.
Dari sisi kondisi geografis, kondisi tanah air kita tergolong kurang mendukung dilaksanakannya pergantian kurikulum secara cepat. Mengapa? Karena sistem informasi yang semodern apa pun realitasnya sulit untuk menembus kendala geografis yang tajam. Sekolah-sekolah yang ada di pelosok, di pegunungan, di tengah laut, dan sebagainya, sangat sering menerima informasi yang terlambat. Dalam hal informasi kurikulum, kiranya juga mengalami nasib yang sama.
Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan. Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan. Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara.
Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan. Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K provinsi masing-masing. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota madya itu. Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah.
Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api. Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah?baik penataran guru, seminar, dan pelatihan-pelatihan kurang memberikan hasil yang meluas.
Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit diatasi dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah online learning. Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah instan, dan kerdil kreativitas.
Pertanyaan tentang adanya kontradiksi antara KTSP dan ujian nasional (UN) menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, berbeda dengan UN yang sentralistik. KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Berbeda dengan kurikulum 1994 atau kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam.
Penutup
Dibalik kontroversi yang tidak kunjung usai, sebagai sebuah negara yang terus berusaha bangkit dari keterpurukannya, segenap warga negara dan bangsa Indonesia sudah seyogyanya belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan kurikulum di negara lain, terutama dalam hal modifikasi, adaptasi, dan pengembangan model kurikulum yang khas dan mampu menghadapi era globalisasi sekarang ini, tanpa harus menghilangkan karakteristik masyarakat dan budayanya. Tentu saja usaha ini harus didukung oleh semua pihak. Untuk itu pemerintah pusat haruslah memberikan sosialisasi dan fasilitasi yang maksimal dalam membantu sekolah-sekolah dalam penyusunan kurikulum setingkat satuan pendidikan tersebut. Yang jelas, pemerintah harus punya political will yang aktual dalam memajukan pendidikan nasional. Sebab, bagaimanapun juga mutu pendidikan bukan diukur oleh satu-satunya hasil Ujian Nasional (UN), akan tetapi bagaimana nantinya output dari pendidikan itu sendiri, dalam hal ini peserta didik, dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya untuk hidup di masyarakat kelak. Bukankah setiap anak bangsa akan hidup dan menghadapi era yang berbeda dari era orang tuanya dulu? Sebuah renungan.
Oleh : "Rusdianto, Mahasiswa PPS UNJ Pendidikan Bahasa S2"
Oleh : "Rusdianto, Mahasiswa PPS UNJ Pendidikan Bahasa S2"
0 comments:
Posting Komentar