ADAB PENUNTUT ILMU DALAM KEHIDUPAN ILMIYAHNYA
24. Semangat tinggi dalam ilmu:
Antara tabiat Islam adalah berhias diri dengan semangat tinggi, dalam ilmu maka ia akan memberimu (dengan ijin Allah SWT) kebaikan yang tidak terputus, agar engkau naik pada derajat yang sempurna. Maka mengalirlah di dalam pembuluh darah (urat) yaitu darah kecerdasan, dan melompat di lapangan ilmu dan amal.
Janganlah engkau melakukan kesalahan, lalu engkau campur adukan di antara semangat tinggi dan kesombongan, semangat tinggi adalah hiasan warisan para nabi dan sombong adalah penyakit orang yang sakit dengan penyakit orang-orang yang angkuh.
25. Bergairah dalam menuntut ilmu:
Engkau harus memperbanyak warisan Nabi muhammad SAW dan kerahkanlah kemampuanmu dalam menuntut ilmu dan mencari, sebanyak apapun ilmu yang ada padamu. Ingatlah: Berapa banyak yang ditinggalkan generasi terdahulu untuk generasi berikutnya."
26. Melakukan perjalanan jauh dalam menuntut ilmu:
Barangsiapa yang tidak melakukan perjalanan jauh dalam menuntut ilmu untuk mencari para ulama dan mengambil ilmu dari mereka, maka ia tidak pantas untuk dituju kepadanya (untuk diambil ilmunya): karena para ulama tersebut telah melewati waktu lama dalam belajar dan mengajar: mereka mempunyai tahrirat (editan), catatan, kutipan-kutipan ilmu, dan pengalaman yang susah didapatkan atasnya atau bandingannya di dalam kitab-kitab. Janganlah engkau mengambil ilmu dari para sufi yang lebih mengutamakan ilmu (yang aneh) terhadap ilmu (yang ada dalam kitab).
27. Menjaga ilmu secara tertulis:
Usahakanlah selalu menjaga ilmu (menyimpan kitab) karena mengikat ilmu dengan tulisan yang aman dari pada tersia-sia, memendekkan jarak saat membutuhkan, terutama faedah-faedah yang berharga, masalah-masalah yang berada di tempat yang tidak biasanya, permata-permata yang bertebaran yang engkau lihat dan dengar, karena khawatir akan terlupakan. Sesungguhnya hapalan melemah dan lupa selalu datang. Apabila terkumpul padamu berbagai macam catatan, maka kumpulkanlah dalam catatan khusus sesuai judulnya. Sesungguhnya ia membantumu di saat mendesak yang terkadang susah didapatkan dari orang lain.
28. Menjaga ri'ayah:
Usahakanlah menjaga ilmu (menjaga secara ri'ayah) dengan mengamalkan dan mengikuti. Engkau harus memurnikankan niatmu dalam menuntutnya. Jangalah engkau menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Jauhilah sikap sombong dan bangga dengannya. Jadikanlah hapalanmu dalam hadits sebagai hapalan ri'ayah bukan menghapal riwayat. Sudah seharusnya penuntut ilmu tampil berbeda dalam berbagai aspek kehidupannya dari kalangan awam dengan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW sejauh mungkin dan mempraktekkan sunnah-sunnah terhadap dirinya.
29. Menjaga hapalan:
Jagalah ilmu yang engkau dapatkan dari waktu ke waktu, sesungguhnya tidak menjaga ilmu adalah pertanda hilangnya ilmu tersebut. Apabila al-Qur`an yang mudah untuk dihapal bisa hilang jika tidak dipelihara, maka bagaimana dengan ilmu-ilmu lainnya? Sebaik-baik ilmu adalah yang didhabit (dicatat, dijaga) dasarnya dan diulang-ulangi cabangnya, membawa kepada Allah SWT dan menuntun kepada ridha-Nya.
30. Memahami dengan mentakhrij (mengeluarkan) cabang di atas dasar: Dalam hadits Ibnu Mas'ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Semoga Allah SWT memberi cahaya kepada seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu menghapalnya, lalu menyampaikannya seperti yang didengarnya. Berapa banyak orang yang membawa/menghapal fiqh namun bukan seorang ahli fiqih, dan berapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih fiqih darinya." Ibnu Khair rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjelaskan bahwa fiqih adalah istinbath (menarik kesimpulan) dan mendapatkan pengertian ucapan lewat jalur pemahaman. Dan dalam hal ini merupakan penjelasan kewajiban memahami, meneliti makna hadits, dan mengeluarkan yang tersembunyi dari rahasianya.' Ketahuilah, sebelum memahami harus terlebih dahulu memikirkan dengan melakukan pemikiran mendalam dalam kerajaan langit dan bumi, hingga seseorang memikirkan pada dirinya dan apa yang ada di sekitarnya. Kamu harus memahami nash syara' dan memikirkan apa yang meliputi tasyri', merenungkan maqashid (tujuan) syari'at. Seorang faqih adalah orang yang menghadapi peristiwa yang tidak ada nash padanya maka ia mengambil hukum baginya.
27. Kembali kepada Allah SWT dalam menuntut dan mencari:
Janganlah engkau merasa gelisah apabila belum dibukakan ilmu untukmu. Terkadang sebagian ilmu tidak bisa masuk karena terhalang nama-nama yang terkenal. Wahai penuntut ilmu, lipat gandakanlah keinginan, bersimpuhlah kepada Allah SWT dalam berdoa dan kembali kepada-Nya.
31. Amanah ilmiyah:
Penuntut ilmu harus berakhlak setinggi mungkin dengan amanah ilmiyah dalam menuntut ilmu, memikul (menghapal), mengamalkan, menyampaikan dan mengajar. Maka sesungguhnya keberuntungan suatu umat berada dalam kebaikan amal perbuatannya, dan kebaikan amal perbuatannya ada dalam kebenaran ilmunya, dan kebenaran ilmunya tergantung pada rijalnya (pembawanya) yang amanah pada sesuatu yang mereka riwayatkan atau mereka gambarkan.
32. Jujur/benar:
Jujur lahjah adalah tanda ketenangan, kemuliaan jiwa yang tersembunyi, ketinggian himmah (semangat, cita-cita), dan kematangan aqal. al-Auza'i berkata: 'Belajarlah kejujuran sebelum belajar ilmu.' Shidq (benar, jujur) adalah: menyampaikan ucapan sesuai realita dan kayakinan. Jujur, benar itu hanya ada dalam satu jalur. Adapun lawannya yaitu bohong/dusta maka ada tiga:
a. Dusta penjilat: yaitu yang menyalahi realita dan keyakinan, seperti orang yang menjilat kepada orang yang dikenalnya seorang yang fasik atau ahli bid'ah, lalu ia menggambarkannya sebagai orang yang istiqamah.
b. Dusta munafik: yaitu yang menyalahi keyakinan dan tidak sesuai realita, seperti orang munafik yang bertutur seperti yang dikatakan Ahlus Sunnah.
c. Dusta orang yang bodoh: yaitu yang tidak sesuai realita dan sesuai keyakinan, seperti orang yang meyakini kebenaran ajaran kaum sufi dan bid'ah, lalu ia mengganggapnya sebagai wali. Wahai penuntut ilmu, waspadalah keluarnya engkau dari kebenaran/kejujuran kepada kebohongan.
33. Perisai penuntut ilmu: yaitu 'tidak tahu', karena ia adalah setengah ilmu. Maka setengah bodoh adalah 'kata orang' dan 'saya kira'.
34. Menjaga modal hartamu (detik-detik usiamu):
Ambilah waktumu untuk mendapatkan ilmu. Jadilah engkau sekutu beramal, bukan sekutu penganggur. Jagalah waktu dengan sungguh-sungguh, selalu menuntut ilmu, senantiasa bersama para syaikh, sibuk menuntut ilmu dengan membaca, membacakan, muthala'ah, tadabbur, menghapal dan meneliti, terutama di masa muda. Mamfaatkanlah kesempatan yang sangat mahal ini agar engkau mendapatkan tingkatan ilmu yang tinggi. Hindarilah menunda-nunda seperti setelah selesai pekerjaan ini, setelah pensiun, tetapi bersegeralah. Jika engkau mengamalkannya maka merupakan bukti bahwa engkau memikul 'semangat besar dalam ilmu'.
35. Rileks (menenangkan jiwa):
Ambilah sebagian waktumu untuk istirahat dalam taman ilmu dari kitab-kitab pengetahuan umum, sesungguhnya hati memerlukan sedikit istirahat (rileks). Dari Ali bin Thalib RA berkata: 'Istirahatkanlah hati ini, sesungguhnya ia bisa merasa bosan sebagaimana badan merasa bosan."
33. Membaca sambil mentashhih (membetulkan) dan dhabith (mencatat): Berusahalah untuk membaca dengan mentashhhih dan mencatat di hadapan guru (syaikh) yang ahli, agar engkau aman dari tahrif (penyimpangan), tashhihf (kesalahan tulisan, cetak), kekeliruan dan waham.
36. Meringkas kitab-kitab besar: termasuk yang paling penting untuk memperluas pengetahuan, memperdalam pemahaman, mengeluarkan faedah yang tersimpan, dan mengenal metode para pengarang dalam karangan dan istilah mereka padanya.
37. Pertanyaan yang baik:
Hendaklah selalu beradab dalam bertanya, sesungguhnya ia termasuk pertanyaan yang baik, lalu mendengarkan, lalu pemahaman yang benar terhadap jawaban. Apabila telah dijawab, jangan sampai engkau mengatakan: akan tetapi ya syaikh, fulan berkata kepadaku seperti ini, atau ia berkata seperti. Maka sesungguhnya ini termasuk kurang dalam adab dan mengadu domba ulama satu sama lain. Jika engkau harus melakukan maka katakanlah: 'Apakah pendapatmu tentang fatwa seperti ini, dan jangan engkau menyebutkan nama seseorang.
38. Bertukar pendapat tanpa berdebat (tanpa tujuan):
Jauhilah perdebatan tanpa akhir, sesungguhnya ia adalah siksaan. Adapun bertukar pendapat (berdebat) dalam kebenaran maka sungguh ia adalah nikmat dan padanya menampakkan kebenaran di atas kebatilan, yang rajih atas yang marjuh. Ia dibangun atas dasar saling menasehati, santun, dan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan (tanpa tujuan) dalam diskusi maka sesungguhnya ia adalah pertengkaran dan riya, suara hiruk pikuk dan kesombongan, saling mengalahkan dan pertengkaran.
39. Mudzakarah ilmu:
Nikmatilah bersama para ahli dengan mudzakarah, sungguh ia berada di tempat yang melebih muthala'ah, mengisi hati, menguatkan ingatan, selalu netral dan santun, jauh dari penyimpangan dan resiko. Dan engkau mudzakarah bersama dirimu sendiri dalam memecahkan masalah
40. Penuntut ilmu hidup di antara al-Qur`an dan sunnah serta ilmu-ilmu yang terkait dengan keduanya: keduanya bagi penuntut ilmu bagaikan sayap, maka hati-hatilah, jangan sampai engkau kehilangan sayap.
41. Melengkapi ilmu pengantar (ilmu alat) setiap bidang ilmu:
Engkau tidak akan bisa menjadi penuntut ilmu yang ahli lagi menguasai berbagai bidang ilmu selama engkau belum melengkapi alat-alat disiplin ilmu tersebut. Maka dalam ilmu fiqh di antara fiqh dan ushulnya, di dalam hadits di antara ilmu riwayah dan dirayah,,, dan seterusnya. Dan jika tidak demikian maka engkau tidak akan berhasil.
See Also:
Pasal Pertama
Pasal Ke-2
Pasal Ke-3
Pasal Ke-4
See Also:
Pasal Pertama
Pasal Ke-2
Pasal Ke-3
Pasal Ke-4
0 comments:
Posting Komentar